Thursday 4 July 2013

BIKE TO CAMPUS


“Bike to campus”, siapa yang tidak kenal dengan slogan itu. Slogan yang mengajak kita untuk bersepeda ke kampus sebagai dukungan terhadap program go green pemerintah dalam mewujudkan kelestarian dunia yang mulai tidak stabil akibat pemanasan global atau istilah kerennya disebut dengan “global warming”.
Saya salah satu diantara banyak orang yang mengkonsistenkan dirinya untuk menggunakan sepeda dalam berkegiatan sehari-hari termasuk menggunakan sepeda ke kampus “Bike To Campus”.
Tapi perjalanan kali ini bagi saya adalah yang sebenarnya Bike To Campus boleh saya katakan The Real Bike To Campus, saya berani mengatakan demikian karena setelah tiga tahun saya bersepeda ke kampus barulah kali ini perjalanan bike to campus saya yang paling berkesan, yang paling nyata perjuangannya, yang paling nyata tantangannya, dan yang paling menyenangkan di perjalanannya.
Semua sama setiap hari jika saya bike to campus. Melewati jalan aspal, ada polisi tidurnya, ada kendaraan bermotor yang lalu lalang, ada orang-orang yang berjalan kaki, ada tumbuhan hijau, dan sebagainya. Tapi yang membedakan kali ini adalah jarak tempuhnya. Biasa setiap harinya hanya sekitar 1 km saja, sekarang hampir 700x lipatnya harus saya tempuh. Setiap hari saya juga melewati jalan aspal, hanya saja ada jalan yang lurus sampai belasan kilometer, ada aspal yang berkelok curam, tanjakan curam, turunan curam, jalan aspal panas yang telah disinari matahari berjam-jam sehingga cukup untuk membuat keringat sebesar jagung bercucuran, dan ada juga jalan aspal yang telah habis termakan usia sehingga berlubang dan jalan aspal yang habis termakan abrasi pantai. Ada kendaraan yang berlalu lalang, hanya saja bedanya banyak kendaraan besar seperti truk pengangkut batu bara dan sawit. Ada orang-orang yang berjalan kaki juga, hanya saja mereka membawa hasil pertanian mereka menuju rumah mereka masing-masing, dan ada juga beberapa pejalan kaki yang berjalan tak tentu arah (orang gila). Ada juga tumbuhan hijau, hanya saja bedanya yaitu hutan lindung sepanjang beberapa kilometer, semak belukar di sisi kiri dan kanan jalan, ribuan pohon sawit dan ribuan pohon karet di sepanjang jalan, hamparan sawah yang hijau dan menguning, pinggiran pantai, dan lain sebagainya. Kesemuanya harus saya lewati demi sampainya tujuan saya ke kampus Universitas Negeri Padang untuk kembali kuliah di semester pendek sepanjang bulan ramadhan ini.
Bermodalkan sebuah surat keterangan jalan dari klub sepeda dan sebuah surat keterangan jalan dari kepolisian setempat, dan juga beberapa ratus ribu uang sumbangan dari anggota klub untuk biaya makan selama perjalanan, tepat tanggal 23 Juni 2013 pukul 08.30 saya mulai perjalanan bike to campus yang di lepas oleh beberapa wartawan koran lokal di depan kantor beritanya. Berharap lancar-lancar saja dalam perjalanan, tapi itu hanya harapan yang Di Atas yang menentukan. Sebuah masalah kecil dan sepele mulai tampak setelah berjalan 50 km meninggalkan kota kelahiran. Ban depan bunyi yang ternyata kacang-kacang roda depan pecah karena beban dan jalan jelek dari Curup menuju ke Bengkulu. Sepele memang, hanya sebuah bola besi kecil, tapi bisa menghentikan perjalanan saya selamanya jika tidak diperbaiki. Ditambah lagi kebiasaan badan yang perlu beradaptasi dengan cuaca panas di jalanan, karena selama satu bulan badan telah merasa nyaman dengan cuaca dingin kota Curup, sehingga membuat saya harus tepar dan tertidur di pinggiran jalan karena lelah dan kepanasan. Jarak Curup Bengkulu sejauh 88 km yang biasa di tempuh selama 3,5 jam pada hari ini harus ditempuh selama 5 jam. Target semula ingin sampai di Lais tak terwujudkan. Lais masih 46 km lagi.
Hari kedua setelah semua sepeda fix, saya baru bisa melanjutkan perjalanan jam 2 siang. Sore ini harus kejar target sampai ke Lais. Waktu hanya satu minggu untuk sampai di Padang dan pada 1 Juli saya harus segera kuliah. Mau tak mau saya harus kejar target sampai ke Lais sore ini. Dan jam 17.30 tibalah saya di Lais. Bersyukur tidak ada masalah selama perjalanan. Hanya saja tubuh masih butuh penyesuaian terhadap panasnya jalanan. Malam ini numpang istirahat di Polsek Lais. Seorang polisi piket menertawakan saya karena ke kampus naik sepeda. Banyak pertanyaan keluar dari mulutnya dan dengan tenang saya jawab semuanya. Salah satunya kenapa saya tidak bawa motor atau naik bus saja, saya hanya menjawab kendaraan saya hanya sepeda, dan saya tidak naik bus karena banyak pelajaran yang akan saya dapatkan selama perjalanan ini. “Alam takambang jadi guru” pepatah minang, alamlah yang menjadi guru saya secara langsung selama perjalanan ini.
Memang benar alam lah yang menjadi guru bagi saya, dan polisi yang menertawakan saya tadilah yang menjadi gurunya. Beberapa sejarah tentang Lais ia ceritakan kepada saya, diantaranya lokasi Polsek saat ini adalah bekas markas Belanda yang bukti sejarahnya sebuah bangunan tempat penyimpanan air yang hanya puingnya saja di belakang bangunan bekas markas Brimob yang juga tinggal bangunannya saja. Dan juga ia menceritakan dua pohon besar yang usianya mungkin sudah ratusan tahun. Semuanya ia ceritakan sebelum keberangkatan saya pada hari ketiga.
Pantai lais

Hari ketiga sejauh 78 km saya tempuh melawan sengatan matahari. Target tak tercapai hari ini. Awalnya ditargetkan sampai di Ipuh, sekitar 40 km lagi dari Puteri Hijau. Sedikit kesal sebenarnya karena saya banyak menunggu, menunggu yang tak pasti. Sebelum berangkat Bapak saya berpesan untuk menemui seorang keluarga yang sekarang menjadi Kapolsek di Puteri Hijau. Tapi apalah daya, setelah semalaman menunggu tak diberi kesempatan bertemu, akhirnya saya lanjutkan lagi perjalanan pada hari keempat.
Hari keempat merupakan pengalaman yang paling menakjubkan. Selama perjalanan banyak yang saya lihat, mulai dari hamparan samudera hindia yang tanpa batas, sendiri di tengah kesunyian diantara ribuan pohon karet, melihat bangkai biawak sebesar paha tergeletak di bahu jalan, melihat secara langsung untuk pertama kalinya seekor babi yang cukup besar melintas di depan mata di kesendirian di tengah ribuan pohon sawit saat tengah di bakar panasnya sengatan matahari dan panasnya aspal jalanan. Ketemu seorang bencong di sebuah warung kecil yang terkesan menggoda saya sehingga membuat saya urung untuk beristirahat walaupun kaki ini sudah tak karuan rasanya. Melihat air turun dari langit untuk pertama kalinya selama perjalanan bike to campus ini. Melihat ribuan kunang-kunang dengan kerlipan cahayanya bak bintang yang memberikan petunjuk kepada saya yang mana jalan yang mana semak belukar dikegelapan malam 20 km sebelum sampai Muko-Muko. Hari ini untuk pertama kalinya menembus 107 km gowes dalam perjalanan bike to campus walaupun sempat kehilangan 50 km karena loading ketika hujan badai datang, dan hari ini juga ditertawakan dua orang pemilik warung yang berbeda setelah sebulan sebelumnya sempat singgah di warung mereka.
salah satu pemandangan pantai
salah satu pemandangan pantai
salah satu pemandangan pantai
sendiri di tengah kesunyian diantara ribuan pohon karet
tanjakan panjang
Hari kelima saya putuskan istirahat sembari menyempatkan diri bermain-main di kota muko-muko melihat penutupan acara tahunan yang diselenggarakan oleh pemerintah Kabupaten Muko-Muko dan juga melancong ke danau Nibung.
muaro (muko-muko)
Hari keenam masuk ke Balai Selasa yang sudah masuk ke Propinsi Sumatera Barat setelah 143 km menggowes dan hari ini juga gowes paling malam karena tiba di Balai Selasa hampir jam 21.00. tapi tak masalah karena saya dapat teman baru. Seorang peturing dari Cina bernama Tidy Tian bertemu saya diperjalanan dan sempat ngobrol bersamanya sekitar satu jam. Berbagi email, berbagi pengalaman turing, dan dia juga berbagi cerita tentangg negara asalnya di Cina. Dia juga mengatakan bahwa Indonesia itu indah dimatanya.
Tidy Tian dari Cina
dan terus menanjak

Hari terakhir ini adalah hari dimana fisik saya terasa paling kuat. Hal yang jarang terjadi. Dengan beban full di sepeda saya sanggup mengayuh sejauh 162 km dari Balai Selasa menuju padang. Tahun 2011 lalu saya juga mengayuh sejauh ini tapi dengan beban yang sedikit, tidak seperti hari ini. Inilah hari terkuat saya. Naik beberapa buah bukit yang cukup untuk membuat mobil-mobil besar meraung ketika mencoba melewatinya. Tapi saya dengan santai terus mengayuh tanpa menginjakkan kaki ke tanah yang berarti tidak sanggup lagi untuk mengayuh. Mulai dari bukit Punai, Bukit Pulai, Bukit kelok Jariang, bukit yang namanya tidak saya ingat, dan yang terakhir bukit Lampu sekitar 15 km sebelum Padang. Tak disangka tiga orang teman saya juga sedang main ke Bukit Lampu, jadi saya terkesan di sambut maghrib itu.
Hati saya bahagia karena tujuan saya tercapai. “Bike To Campus” atau saya mengatakan “The Real Bike To Campus” telah terlaksana. Tinggal masuk kuliah lagi lusanya.
690 km jarak dari Curup ke Padang. 636 km kaki terus mengayuh pedal, 54 km di atas pick up dengan sedikit peyesalan. Tapi tak apalah, jika terus dipaksa mengayuh, banyak hari yang terlewati dan tujuan utama Bike To Campus bisa jadi akan berubah.
Tujuh hari, enam hari bersepeda di panas terik dan hujan badai. Hamparan pantai samudera hindia, pantai abrasi, kunang-kunang, babi, polisi, cappucino dingin, sapaan masyarakat yang beragam, mulai dari turis, pembalap, orang barat, sampai di sebut penjajah “Belanda”, asap hitam kendaraan, Polsek, bahasa yang aneh, ekspresi orang awam yang beragam, dan sebagainya, semua adalah guru.
“Alam Takambang Jadi Guru”.

“Bike to Campus” atau “The Real Bike to Campus”.

No comments: