Pada hari kedua ini, Sabtu 19 Oktober 2013 hampir sama saja dengan hari pertama, jarak yang di tempuh sejauh 102 km dari Batu Sangkar samapi ke Jam Gadang di Bukittinggi. Berbedaannya adalah pada hari ini saya tidak melalui jalur utama seperti hari sebelumnya. Bisa saya katakan hanya jalan kabupaten yang saya lalui pada hari kedua ini.
Seperti yang saya katakan pada cerita sebelumnya, tujuan utama bersepeda kali ini adalah melihat rumah dari seseorang yang telah mensupport saya untuk turing, yaitu di daerah Lintau. Lintau masih termasuk ke daerah Kabupaten Tanah Datar yang beribu kota di Batu Sangkar. Jarak antara Batu Sangkar dan Lintau sekitar 32 km. Sebenarnya jika hendak menuju Lintau ada dua alternatif jalur dari Batu Sangkar, yaitu melalui Sitangkai dan jalur yang saya lewati ini.
Setelah mendengar dari penjelasan teman dimana saya numpang untuk istirahat malam tadi, jarak antara Batu Sangkar ke Lintau via Sitangkai sekitar 45 km, dengan kondisi jalan relatif flat. Tapi tidak diketahui juga seberapa datar elevasi jalannya. Sedangkan jalur yang akan saya lalui dia mengatakan bahwa akan nanjak terlebih dahulu sekitar 10 km. kemudian hanya turun saja sampai ke Lintau.
Pelajaran yang saya ambil pengalaman selama ini tentang masalah jalur, saya tidak akan percaya dengan apa yang dikatakan orang-orang seberapa jauh jarak yang akan di tempuh. Sekali lagi jangan terlalu percaya, dan saya tidak akan pernah percaya. Karena setiap orang jika ditanyakan tentang jarak, senua jawabannya akan selalu berbeda. Masih bisa ditoleransi jika perbedaan jaraknya hanya berbeda 1 kilo atau 2 kilo saja, tapi tetap saja bermasalah jika 1 km atau 2 km tersebut jalannya terus nanjak. Makanya saya tidak pernah percaya dengan apa yang dikatakan orang.
Untuk mensiasati masalah ini, trik yang saya lakukan adalah dengan mensurvei jalur terlebih dahulu, yaitu dengan cara memanfaatkan teknologi internet dan pemetaan. Diantara banyaknya program, aplikasi, website tentang pemetaan jalur, yang paling sering saya gunakan adalah aplikasi google earth, website google maps, dan menurut saya yang paling akuran dan sangat membantu adalah sebuah website yang sepertinya dibuat khusus untuk membantu para peturing yang akan merencanakan perjalanannya. Websiter tersebut adalah http://bikeroutoaster.com
Website pemetaan bumi ini hampir sama dengan website google maps dan software google earth, hanya saja bedanya kita diberi kemudahan dalam mencari jalur.. Disana langsung dilampirkan elevasi dari jalan yang akan kita lalui, berapa waktu yang akan kita tempuh dan sebagainya. Untuk lebih jelasnya bisa langsung dibuka websitenya dan dicobakan sendiri.
Satu lagi yang paling terpenting dalam perjalanan saya, yaitu sebuah gadget berupa smartphone. Dan yang saya gunakan saat ini adalah smartphone android produksi Sony Ericsson Xperia Mini yang di dalamnya telah tertanam sebuah teknologi pemetaan atau disebut dengan GPS (Global Positioning System).
Smartphone android ini saya manfaatkan kepintarannya (sesuai dengan istilahnya smartphone atau hanphone pintar) untuk memetakan dan mengetahui posisi saya. Selain akses dari situs bikeroutetoaster.com yang bisa diakses melaui smartphone, sebuah aplikasi penting ini juga saya pasang di dalamnya. Aplikasi tersebut adalah aplikasi GPS "Navitel Navigator". Untuk aplikasi ini telah saya posting pada posting sebelumnya. Kehebatannya adalah ketika dalam posisi tidak ada sinyal dari operator GSM yang kita gunakan, Navitel Navigator tetap bisa digunakan sebagai petunjuk arah karena aplikasi ini langsung terhubung dengan satelit GPS.
Setahu saya biasanya kalau kita menggunakan aplikasi pemetaan pada smartphone kita hanya menggunakan aplikasi Maps, dan itu harus memiliki koneksi ke internet untuk mendownload peta nya. sedangkan GPS nya bekerja sebagai pemberi tahu posisi kita saja. Berbeda dengan aplikasi navitel yang maps nya sudah diikutsertakan di dalam (harus instal maps terlebih dahulu), kita bisa mengetahui dimanapun posisi kita dengan petunjuk arah yang jelas.
Lanjut ke perjalanan menuju Lintau.
Lintau tidaklah jauh dari Batu Sangkar, hanya 33 km dan hanya sekitar 30 atau 40 menit saja jika menggunakan motor. Tapi jika mengayuh, setengah hari habis sudah waktu kita di jalan untuk menuju Lintau. Tak jauh memang. 18 km tanjakan yang lumayan berat. Hampir sama dengan tanjakan menuju Padang Panjang dari arah kota Padang. Tanjakan paling berat yaitu sekitar 6 km menuju puncak Pato.
Tak jauh beda tanjakannya dengan Padang Panjang, hanya saja berbeda suasana di jalannya. Padang menuju Padang Panjang semuanya penuh. Penuh dengan asap, penuh dengan semeraut jalan. Penuh dengan kendaraan besar, penuh dengan kendaraan kecil, penuh dengan motor, penuh kecepatan mereka berkendara, penuh sesak, penuh debu, penuh emosi, jika saya lanjutkan dengan kata penuh, maka penuhlah isi tulisan ini.
Tanjakan menuju puncak pato kebalikannya. Sangat lengang, sangat indah, sangat bersahabat, sangat segar udaranya, sangat cantik pemandangannya, sangat bersemangat juga mengayuhnya, dan juga sangat lapar karena keenakan mengayuh sepedanya. Seperti itulah kira-kira gambaran dari kedua tanjakan yang saya bisa kasih rating dengan bintang 4. Untuk bintang 5 nya saya berikan kepada tanjakan Sitinjau laut jalan dari Padang menuju Solok. Saya rasa setelah merasakan tanjakan-tanjakan yang ada di sumatera barat, tanjakan sitinjau ini lah yang paling maut.
Mengapa tidak? Bisa dibayangkan dengan jarak dari pusat kota Padang ke Puncak atau perbatasan antara Kota Padang dan Kabupaten solok hanya berjarak sekitar 26 km. Kota Padang berada di ketinggian sekitar 2 mdpl. Sedangkan puncak tanjakan berada di ketinggian sekitar 900 mdpl. itu hanya di tempuh sepanjang 26 km dan membelah gunung Talang. Semuanya penuh, seperti penuh yang saya sebutkan di atas. satu lagi tambahan untuk tanjakan sitinjau, yaitu FULL tanjakan. hanya beberapa puluh meter saja kita diberikan kesempatan untuk menghela nafas jika tidak mau berhenti diantara jalan sepanjang 26 km tanjakan itu.
Tanjakan sepanjang 18 km ini lah yang membuat saya termenung dan berfikir. Mikir kapan tanjakan ini akan habis. Oh tidaaaaakk, fikiran saya berubah ketika saya melihat betapa indahnya pemandangan yang disuguhkan di sepanjang kiri dan kanan jalan. Mulai dari sawah, pemukiman penduduk, pemandangan gunung Marapi yang berdiri kokoh, sampai ada satu yang membuat fikiran ini benar-benar berubah. Yaitu pemandangan asli dari rumah-rumah adat minangkabau, dengan ciri khas atap gonjongnya, dan rumah-rumah tua itu masih berdiri berjejer seperti di komplek perumahan, walaupun ada sebagian rumah yang sudah rapuh dan tidak lagi berdiri tegak karena kayu penopang rumah sudah rapuh termakan usia.
Pemandangan ini seumur hidup baru saya temukan di sini. Walaupun sudah menginjakkan kaki di tanah jawa, saya belum pernah melihat pemandangan yang seperti ini. Seperti berada di zaman lampau, saat rumah-rumah modern belum banyak berdiri. Hanya rumah-rumah tradisional saja yang berdiri. Pemandangan seperti ini terdapat di sebuah perkampungan atau yang dikenal dengan nama nagari, yaitu Nagari Minangkabau dan Nagari Andaleh Baruh Bukik.
Nagari Minangkabau, dari namanya saja saya sudah memiliki ribuan pertanyaan di dalam kepala ini. Apakah suku Minangkabau awalnya dari sini? Mengapa di Nagari Minangkabau ini selama perjalanan tidak saya temukan sebuah rumah gadang yang sepesial? Apakah ada rumah Gadang yang Sepesial itu? Banyak pertanyaan yang terlintas di kepala ini saat melintasi Nagari Minangkabau ini. Hanya saja saya tak berhenti untuk menanyakan pertanyaan-pertnyaan saya kepada warga masyarakat. Saya pikir bakal panjang urusannya jika saya berhenti menanyakan perihal nama Nagari Minangkabau ini. Akhirnya saya putuskan untuk tetap lanjut tanpa berhenti untuk istirahat dan mengambil moment gambar di Nagari Minangkabau.
Hingga saya kayuh sepeda melewati Nagari Andaleh Baruh Bukik. Momen ini saya manfaatkan untuk memotret dengan kamera saku dengan lensa berkekuatan 20,1 Mega Pixel yang saya punya. Saya terhenti memandang pemandangan indah ini. Saya beruntung bisa bertemu lagi dengan kampung yang masih sangat alami, baik udaranya, pemandangannya, rumah-rumahnya, semuanya menakjubkan.
Nagari Minangkabau dan Nagari Andaleh Baruh Bukik merubah pikiran saya sekarang. Ternyata banyak hal-hal menarik yang bisa dinikmati dan diabadikan momen-momennya di dalam kamera. Bukan hanya di tempat-tempat wisata yang terkenal sebelumnya, tapi daerah-daerah terpencil pun jauh lebih baik dari tempat yang sudah terkenal dan terkelola.
Mulai dari Nagari ini saya berfikir jika melakukan perjalanan, tempat-tempat terpencil ini lah yang akan saya gali lagi keberadaannya, menjadi sebuah destinasi wisata yang "BERBEDA" dengan orang-orang lain. Saya fikir tidak semua yang orang tuju dalam berwisata itu adalah indah. Tapi dengan keadaan seperti ini, bagi saya "BERBEDA ITU INDAH".
Mungkin tak banyak orang yang sependapat dengan saya. Tapi itulah kenyataan yang saya sadari sekarang. Sama seperti apa yang telah saya dengar dari seorang traveller dan penulis "Agustinus", yang melakukan perjalanan bukan ketempat-tempat yang sudah terkenal. Yang saya ingat, kebanyakan semua orang menyatakan dan membagi beberapa kategori tempat terkenal dengan berbagai sebutan seperti 10 tempat yang harus dikunjungi sebelum mati, 7 tempat terindah di dunia, 3 destinasi wisata yang wajib dikunjungi, dan sebagainya. Tapi bagi saya semuanya kembali kepada diri masing-masing. Seperti misalnya seseorang mengatakan 10 destinasi wisata yang wajib dikunjungi dan di dalamnya masuk sebuah pantai. Jika seseorang tak suka pantai, maka tak tak bisa dikatakan menjadi 10 tempat wajib.
Banyak hal-hal yang tak kita ketahui di dunia yang ini. Tidak semua tempat wisata bisa menjadi nomor satu, mengalahkan tempat yang bukan dikategorikan tempat wisata terkenal. Bisa saja tempat yang tidak terkenal itu menjadi lebih baik dari tempat yang terkenal yang sudah kita ketahui.
Butuh waktu hampir setengah haru untuk menyampaikan sepeda ke puncak Pato. Saya muali perjalanan jam 8 pagi dan baru bisa sampai di puncak Pato jam 11 siang. Puncak pato tak kalah indahnya. Hanya saja pemandangannya tertutup awan, sehingga megahnya gunung Marapi tak terlihat karena tertutup awan hitam. Memang kondisi saat ini, sumbar memang sedang rajin dimandikan hujan. Mungkin lain kali saya bisa beruntung mendapat pemandangan yang bersih.
Berlanjut ke tujuan utama saya, yaitu Lintau. 15 km dari puncak Pato menuju Lintau. Dan jalannyapun hanya turunan saja. Cukuplah bagi saya turunan 15 km tanpa henti ini untuk membalas rasa penat saya najak 18 km menuju puncak Pato. Pas tengah hari saya tiba di Lintau, dan sudah ditunggu oleh orang tuanya Uda Donald. Alhamdulillah satu amanah terlaksana, yaitu amanah untuk mengunjungi orang tua Uda Donald sebagai Supporter saya dalam perjalanan ini. Masih ada satu amanah lagi yang mesti saya penuhi, yaitu amanah dari saudara kandung saya untuk mencari cek hotel di Bukittinggi. Itu berarti saya tidak punya waktu banyak lagi untuk bisa sampai ke Bukittinggi. Sekarang sudah Zuhur, berarti setengah hari lagi waktu saya untuk mencapai Bukittinggi sebelum gelap.
Tak lama saya berada di rumah orang tuanya Uda Donald. Hanya istirahat sebentar saja. Shalat zuhur dan makan siang. Kemuadian ngobrol dengan ayahnya. Ibunya sedang ke Padang karena ada urusan. Sebenarnya saya pengen ketemu ibunya juga. Tapi mungkin belum saat ini. Suatu saat saya pasti kesana lagi.
Sebelum berangkat, saya dibekali beberapa makanan. Bapak bilang ke saya dengan bahasa minang, "saya tahu apa yang kamu butuhkan. Kamu mahasiswa. Jadi kami tahu apa yang kamu butuhkan", sambil saya masukkan bungkusan rendang dan beberapa kue lainnya ke dalam pannier. Doa keselamatan Bapak bacakan kepada saya, semoga saya selamat sampai tujuan di Padang. Dan juga Bapak titip salam kepada kedua orang tua saya di Bengkulu. Ia mengatakan bahwa saya punya orang tua baru di Lintau. Bapak dan orang tua saya sama-sama memahami ajaran salafi.
Saya terharu sekali mendengarnya. Terasa seperti dirumah sebelum orang tua melepas saya berangkat kembali lagi ke Padang untuk kuliah. Tentunya dengan sepeda juga pada bulan Juli lalu. Doa dan harapan untuk segera menyelesaikan kuliah terlontar dari mulut kedua orang tua saya. Sambil menutup pintu saya mengucapkan terima kasih dan salam kepada Bapak dan berlalu pergi melanjutkan perjalanan.
Sekarang pukul 1.30 siang. Lintau ke Payakumbuh 30 km lagi. Bukittinggi tambah 26 km lagi. Jadi ada 56 km lagi yang harus saya tempuh untuk sampai ke Bukittinggi. Saya hanya tau trek Payakumbuh-Bukittinggi dan tidak tahu sama sekali trek Lintau-Payakumbuh.
Banyak pemandangan yang menarik di sepanjang perjalanan Lintau menuju Bukittinggi. Ada susunan bukit-bukit yang saya lihat seperti susunan bukit-bukit di Cina. Saya tahu karena salah seorang peturing Indonesia menunjukkan saya foto yang ia ambil saat dia singgah bersama saya di Padang. Om Budi Candra orangnya. Sudah 8 Negara ia lewati dengan sepedanya. Menakjubkan!!
Saya tak banyak berhenti dalam perjalanan Lintau menuju Bukittinggi. Hanya beberapa titik saja karena kaki sudah terasa lelah mengayuh. Dari Batu Sangkar sampai ke Bukittinggi harus melewati tiga bukit. Bukit pertama puncak Pato yang berada di ketinggian 1.180 mdpl. Bukit yang membelah antara Lintau dan Payakumbuh. Puncaknya berada di ketinggian 865 mdpl dan Lintau sendiri berada di ketinggian 556 mdpl. Bukit terakhir yaitu Payakumbuh Bukittinggi. Namanya saja sudah Bukit. Tinggi pula, ya jelas nanjak mau kesana. Bukittinggi berada di ketinggian sekitar 900 mdpl. Sangat menguras tenaga untuk menempuh jarak 102 km dalam sehari dan melewati bukit dengan elevasinya di atas 700 mdpl.
Malam ini saya istirahat di rumah seorang teman di Bukittinggi setelah saya nongkrong dulu di depan jam Gadang, menikmati jam Gadang di malam hari sebelum hujan deras mengguyur kota Bukittinggi. Malam ini juga saya bertemu dengan seorang peturing wanita asal Spanyol yang akan singgah di Padang bersama saya yang bernama Rocio. Awesome, dengan bahasa inggris saya yang berantakan grammarnya entah kemana-mana ia mengatakan bahasa inggris saya bagus. Ahh.. ada-ada saja..
Seperti yang saya katakan pada cerita sebelumnya, tujuan utama bersepeda kali ini adalah melihat rumah dari seseorang yang telah mensupport saya untuk turing, yaitu di daerah Lintau. Lintau masih termasuk ke daerah Kabupaten Tanah Datar yang beribu kota di Batu Sangkar. Jarak antara Batu Sangkar dan Lintau sekitar 32 km. Sebenarnya jika hendak menuju Lintau ada dua alternatif jalur dari Batu Sangkar, yaitu melalui Sitangkai dan jalur yang saya lewati ini.
Setelah mendengar dari penjelasan teman dimana saya numpang untuk istirahat malam tadi, jarak antara Batu Sangkar ke Lintau via Sitangkai sekitar 45 km, dengan kondisi jalan relatif flat. Tapi tidak diketahui juga seberapa datar elevasi jalannya. Sedangkan jalur yang akan saya lalui dia mengatakan bahwa akan nanjak terlebih dahulu sekitar 10 km. kemudian hanya turun saja sampai ke Lintau.
Pelajaran yang saya ambil pengalaman selama ini tentang masalah jalur, saya tidak akan percaya dengan apa yang dikatakan orang-orang seberapa jauh jarak yang akan di tempuh. Sekali lagi jangan terlalu percaya, dan saya tidak akan pernah percaya. Karena setiap orang jika ditanyakan tentang jarak, senua jawabannya akan selalu berbeda. Masih bisa ditoleransi jika perbedaan jaraknya hanya berbeda 1 kilo atau 2 kilo saja, tapi tetap saja bermasalah jika 1 km atau 2 km tersebut jalannya terus nanjak. Makanya saya tidak pernah percaya dengan apa yang dikatakan orang.
Untuk mensiasati masalah ini, trik yang saya lakukan adalah dengan mensurvei jalur terlebih dahulu, yaitu dengan cara memanfaatkan teknologi internet dan pemetaan. Diantara banyaknya program, aplikasi, website tentang pemetaan jalur, yang paling sering saya gunakan adalah aplikasi google earth, website google maps, dan menurut saya yang paling akuran dan sangat membantu adalah sebuah website yang sepertinya dibuat khusus untuk membantu para peturing yang akan merencanakan perjalanannya. Websiter tersebut adalah http://bikeroutoaster.com
Website pemetaan bumi ini hampir sama dengan website google maps dan software google earth, hanya saja bedanya kita diberi kemudahan dalam mencari jalur.. Disana langsung dilampirkan elevasi dari jalan yang akan kita lalui, berapa waktu yang akan kita tempuh dan sebagainya. Untuk lebih jelasnya bisa langsung dibuka websitenya dan dicobakan sendiri.
Satu lagi yang paling terpenting dalam perjalanan saya, yaitu sebuah gadget berupa smartphone. Dan yang saya gunakan saat ini adalah smartphone android produksi Sony Ericsson Xperia Mini yang di dalamnya telah tertanam sebuah teknologi pemetaan atau disebut dengan GPS (Global Positioning System).
Smartphone android ini saya manfaatkan kepintarannya (sesuai dengan istilahnya smartphone atau hanphone pintar) untuk memetakan dan mengetahui posisi saya. Selain akses dari situs bikeroutetoaster.com yang bisa diakses melaui smartphone, sebuah aplikasi penting ini juga saya pasang di dalamnya. Aplikasi tersebut adalah aplikasi GPS "Navitel Navigator". Untuk aplikasi ini telah saya posting pada posting sebelumnya. Kehebatannya adalah ketika dalam posisi tidak ada sinyal dari operator GSM yang kita gunakan, Navitel Navigator tetap bisa digunakan sebagai petunjuk arah karena aplikasi ini langsung terhubung dengan satelit GPS.
Setahu saya biasanya kalau kita menggunakan aplikasi pemetaan pada smartphone kita hanya menggunakan aplikasi Maps, dan itu harus memiliki koneksi ke internet untuk mendownload peta nya. sedangkan GPS nya bekerja sebagai pemberi tahu posisi kita saja. Berbeda dengan aplikasi navitel yang maps nya sudah diikutsertakan di dalam (harus instal maps terlebih dahulu), kita bisa mengetahui dimanapun posisi kita dengan petunjuk arah yang jelas.
Lanjut ke perjalanan menuju Lintau.
Lintau tidaklah jauh dari Batu Sangkar, hanya 33 km dan hanya sekitar 30 atau 40 menit saja jika menggunakan motor. Tapi jika mengayuh, setengah hari habis sudah waktu kita di jalan untuk menuju Lintau. Tak jauh memang. 18 km tanjakan yang lumayan berat. Hampir sama dengan tanjakan menuju Padang Panjang dari arah kota Padang. Tanjakan paling berat yaitu sekitar 6 km menuju puncak Pato.
Tak jauh beda tanjakannya dengan Padang Panjang, hanya saja berbeda suasana di jalannya. Padang menuju Padang Panjang semuanya penuh. Penuh dengan asap, penuh dengan semeraut jalan. Penuh dengan kendaraan besar, penuh dengan kendaraan kecil, penuh dengan motor, penuh kecepatan mereka berkendara, penuh sesak, penuh debu, penuh emosi, jika saya lanjutkan dengan kata penuh, maka penuhlah isi tulisan ini.
Tanjakan menuju puncak pato kebalikannya. Sangat lengang, sangat indah, sangat bersahabat, sangat segar udaranya, sangat cantik pemandangannya, sangat bersemangat juga mengayuhnya, dan juga sangat lapar karena keenakan mengayuh sepedanya. Seperti itulah kira-kira gambaran dari kedua tanjakan yang saya bisa kasih rating dengan bintang 4. Untuk bintang 5 nya saya berikan kepada tanjakan Sitinjau laut jalan dari Padang menuju Solok. Saya rasa setelah merasakan tanjakan-tanjakan yang ada di sumatera barat, tanjakan sitinjau ini lah yang paling maut.
pemandangan dari batu Sangkar Sebelum Puncak Pato |
pemandangan dari batu Sangkar Sebelum Puncak Pato |
pemandangan dari batu Sangkar Sebelum Puncak Pato |
Mengapa tidak? Bisa dibayangkan dengan jarak dari pusat kota Padang ke Puncak atau perbatasan antara Kota Padang dan Kabupaten solok hanya berjarak sekitar 26 km. Kota Padang berada di ketinggian sekitar 2 mdpl. Sedangkan puncak tanjakan berada di ketinggian sekitar 900 mdpl. itu hanya di tempuh sepanjang 26 km dan membelah gunung Talang. Semuanya penuh, seperti penuh yang saya sebutkan di atas. satu lagi tambahan untuk tanjakan sitinjau, yaitu FULL tanjakan. hanya beberapa puluh meter saja kita diberikan kesempatan untuk menghela nafas jika tidak mau berhenti diantara jalan sepanjang 26 km tanjakan itu.
Tanjakan sepanjang 18 km ini lah yang membuat saya termenung dan berfikir. Mikir kapan tanjakan ini akan habis. Oh tidaaaaakk, fikiran saya berubah ketika saya melihat betapa indahnya pemandangan yang disuguhkan di sepanjang kiri dan kanan jalan. Mulai dari sawah, pemukiman penduduk, pemandangan gunung Marapi yang berdiri kokoh, sampai ada satu yang membuat fikiran ini benar-benar berubah. Yaitu pemandangan asli dari rumah-rumah adat minangkabau, dengan ciri khas atap gonjongnya, dan rumah-rumah tua itu masih berdiri berjejer seperti di komplek perumahan, walaupun ada sebagian rumah yang sudah rapuh dan tidak lagi berdiri tegak karena kayu penopang rumah sudah rapuh termakan usia.
Pemandangan ini seumur hidup baru saya temukan di sini. Walaupun sudah menginjakkan kaki di tanah jawa, saya belum pernah melihat pemandangan yang seperti ini. Seperti berada di zaman lampau, saat rumah-rumah modern belum banyak berdiri. Hanya rumah-rumah tradisional saja yang berdiri. Pemandangan seperti ini terdapat di sebuah perkampungan atau yang dikenal dengan nama nagari, yaitu Nagari Minangkabau dan Nagari Andaleh Baruh Bukik.
Nagari Minangkabau, dari namanya saja saya sudah memiliki ribuan pertanyaan di dalam kepala ini. Apakah suku Minangkabau awalnya dari sini? Mengapa di Nagari Minangkabau ini selama perjalanan tidak saya temukan sebuah rumah gadang yang sepesial? Apakah ada rumah Gadang yang Sepesial itu? Banyak pertanyaan yang terlintas di kepala ini saat melintasi Nagari Minangkabau ini. Hanya saja saya tak berhenti untuk menanyakan pertanyaan-pertnyaan saya kepada warga masyarakat. Saya pikir bakal panjang urusannya jika saya berhenti menanyakan perihal nama Nagari Minangkabau ini. Akhirnya saya putuskan untuk tetap lanjut tanpa berhenti untuk istirahat dan mengambil moment gambar di Nagari Minangkabau.
Hingga saya kayuh sepeda melewati Nagari Andaleh Baruh Bukik. Momen ini saya manfaatkan untuk memotret dengan kamera saku dengan lensa berkekuatan 20,1 Mega Pixel yang saya punya. Saya terhenti memandang pemandangan indah ini. Saya beruntung bisa bertemu lagi dengan kampung yang masih sangat alami, baik udaranya, pemandangannya, rumah-rumahnya, semuanya menakjubkan.
Nagari Andaleh Baruh Bukik |
Nagari Minangkabau dan Nagari Andaleh Baruh Bukik merubah pikiran saya sekarang. Ternyata banyak hal-hal menarik yang bisa dinikmati dan diabadikan momen-momennya di dalam kamera. Bukan hanya di tempat-tempat wisata yang terkenal sebelumnya, tapi daerah-daerah terpencil pun jauh lebih baik dari tempat yang sudah terkenal dan terkelola.
Mulai dari Nagari ini saya berfikir jika melakukan perjalanan, tempat-tempat terpencil ini lah yang akan saya gali lagi keberadaannya, menjadi sebuah destinasi wisata yang "BERBEDA" dengan orang-orang lain. Saya fikir tidak semua yang orang tuju dalam berwisata itu adalah indah. Tapi dengan keadaan seperti ini, bagi saya "BERBEDA ITU INDAH".
Mungkin tak banyak orang yang sependapat dengan saya. Tapi itulah kenyataan yang saya sadari sekarang. Sama seperti apa yang telah saya dengar dari seorang traveller dan penulis "Agustinus", yang melakukan perjalanan bukan ketempat-tempat yang sudah terkenal. Yang saya ingat, kebanyakan semua orang menyatakan dan membagi beberapa kategori tempat terkenal dengan berbagai sebutan seperti 10 tempat yang harus dikunjungi sebelum mati, 7 tempat terindah di dunia, 3 destinasi wisata yang wajib dikunjungi, dan sebagainya. Tapi bagi saya semuanya kembali kepada diri masing-masing. Seperti misalnya seseorang mengatakan 10 destinasi wisata yang wajib dikunjungi dan di dalamnya masuk sebuah pantai. Jika seseorang tak suka pantai, maka tak tak bisa dikatakan menjadi 10 tempat wajib.
Banyak hal-hal yang tak kita ketahui di dunia yang ini. Tidak semua tempat wisata bisa menjadi nomor satu, mengalahkan tempat yang bukan dikategorikan tempat wisata terkenal. Bisa saja tempat yang tidak terkenal itu menjadi lebih baik dari tempat yang terkenal yang sudah kita ketahui.
Butuh waktu hampir setengah haru untuk menyampaikan sepeda ke puncak Pato. Saya muali perjalanan jam 8 pagi dan baru bisa sampai di puncak Pato jam 11 siang. Puncak pato tak kalah indahnya. Hanya saja pemandangannya tertutup awan, sehingga megahnya gunung Marapi tak terlihat karena tertutup awan hitam. Memang kondisi saat ini, sumbar memang sedang rajin dimandikan hujan. Mungkin lain kali saya bisa beruntung mendapat pemandangan yang bersih.
puncak pato |
pemandangan nagari minangkabau dan nagari andaleh baruh bukik dari puncak pato |
bangunan di puncak pato |
Berlanjut ke tujuan utama saya, yaitu Lintau. 15 km dari puncak Pato menuju Lintau. Dan jalannyapun hanya turunan saja. Cukuplah bagi saya turunan 15 km tanpa henti ini untuk membalas rasa penat saya najak 18 km menuju puncak Pato. Pas tengah hari saya tiba di Lintau, dan sudah ditunggu oleh orang tuanya Uda Donald. Alhamdulillah satu amanah terlaksana, yaitu amanah untuk mengunjungi orang tua Uda Donald sebagai Supporter saya dalam perjalanan ini. Masih ada satu amanah lagi yang mesti saya penuhi, yaitu amanah dari saudara kandung saya untuk mencari cek hotel di Bukittinggi. Itu berarti saya tidak punya waktu banyak lagi untuk bisa sampai ke Bukittinggi. Sekarang sudah Zuhur, berarti setengah hari lagi waktu saya untuk mencapai Bukittinggi sebelum gelap.
Tak lama saya berada di rumah orang tuanya Uda Donald. Hanya istirahat sebentar saja. Shalat zuhur dan makan siang. Kemuadian ngobrol dengan ayahnya. Ibunya sedang ke Padang karena ada urusan. Sebenarnya saya pengen ketemu ibunya juga. Tapi mungkin belum saat ini. Suatu saat saya pasti kesana lagi.
Sebelum berangkat, saya dibekali beberapa makanan. Bapak bilang ke saya dengan bahasa minang, "saya tahu apa yang kamu butuhkan. Kamu mahasiswa. Jadi kami tahu apa yang kamu butuhkan", sambil saya masukkan bungkusan rendang dan beberapa kue lainnya ke dalam pannier. Doa keselamatan Bapak bacakan kepada saya, semoga saya selamat sampai tujuan di Padang. Dan juga Bapak titip salam kepada kedua orang tua saya di Bengkulu. Ia mengatakan bahwa saya punya orang tua baru di Lintau. Bapak dan orang tua saya sama-sama memahami ajaran salafi.
Saya terharu sekali mendengarnya. Terasa seperti dirumah sebelum orang tua melepas saya berangkat kembali lagi ke Padang untuk kuliah. Tentunya dengan sepeda juga pada bulan Juli lalu. Doa dan harapan untuk segera menyelesaikan kuliah terlontar dari mulut kedua orang tua saya. Sambil menutup pintu saya mengucapkan terima kasih dan salam kepada Bapak dan berlalu pergi melanjutkan perjalanan.
Sekarang pukul 1.30 siang. Lintau ke Payakumbuh 30 km lagi. Bukittinggi tambah 26 km lagi. Jadi ada 56 km lagi yang harus saya tempuh untuk sampai ke Bukittinggi. Saya hanya tau trek Payakumbuh-Bukittinggi dan tidak tahu sama sekali trek Lintau-Payakumbuh.
Banyak pemandangan yang menarik di sepanjang perjalanan Lintau menuju Bukittinggi. Ada susunan bukit-bukit yang saya lihat seperti susunan bukit-bukit di Cina. Saya tahu karena salah seorang peturing Indonesia menunjukkan saya foto yang ia ambil saat dia singgah bersama saya di Padang. Om Budi Candra orangnya. Sudah 8 Negara ia lewati dengan sepedanya. Menakjubkan!!
Saya tak banyak berhenti dalam perjalanan Lintau menuju Bukittinggi. Hanya beberapa titik saja karena kaki sudah terasa lelah mengayuh. Dari Batu Sangkar sampai ke Bukittinggi harus melewati tiga bukit. Bukit pertama puncak Pato yang berada di ketinggian 1.180 mdpl. Bukit yang membelah antara Lintau dan Payakumbuh. Puncaknya berada di ketinggian 865 mdpl dan Lintau sendiri berada di ketinggian 556 mdpl. Bukit terakhir yaitu Payakumbuh Bukittinggi. Namanya saja sudah Bukit. Tinggi pula, ya jelas nanjak mau kesana. Bukittinggi berada di ketinggian sekitar 900 mdpl. Sangat menguras tenaga untuk menempuh jarak 102 km dalam sehari dan melewati bukit dengan elevasinya di atas 700 mdpl.
rute Batu Sangkar-Bukittinggi |
Elevasi rute Batu Sangkar - Bukittinggi |
Malam ini saya istirahat di rumah seorang teman di Bukittinggi setelah saya nongkrong dulu di depan jam Gadang, menikmati jam Gadang di malam hari sebelum hujan deras mengguyur kota Bukittinggi. Malam ini juga saya bertemu dengan seorang peturing wanita asal Spanyol yang akan singgah di Padang bersama saya yang bernama Rocio. Awesome, dengan bahasa inggris saya yang berantakan grammarnya entah kemana-mana ia mengatakan bahasa inggris saya bagus. Ahh.. ada-ada saja..
No comments:
Post a Comment