“Bike to campus”, siapa
yang tidak kenal dengan slogan itu. Slogan yang mengajak kita untuk bersepeda
ke kampus sebagai dukungan terhadap program go green pemerintah dalam
mewujudkan kelestarian dunia yang mulai tidak stabil akibat pemanasan global
atau istilah kerennya disebut dengan “global warming”.
Saya salah satu
diantara banyak orang yang mengkonsistenkan dirinya untuk menggunakan sepeda
dalam berkegiatan sehari-hari termasuk menggunakan sepeda ke kampus “Bike To
Campus”.
Tapi perjalanan kali
ini bagi saya adalah yang sebenarnya Bike To Campus boleh saya katakan The Real
Bike To Campus, saya berani mengatakan demikian karena setelah tiga tahun saya
bersepeda ke kampus barulah kali ini perjalanan bike to campus saya yang paling
berkesan, yang paling nyata perjuangannya, yang paling nyata tantangannya, dan
yang paling menyenangkan di perjalanannya.
Semua sama setiap hari
jika saya bike to campus. Melewati jalan aspal, ada polisi tidurnya, ada
kendaraan bermotor yang lalu lalang, ada orang-orang yang berjalan kaki, ada tumbuhan
hijau, dan sebagainya. Tapi yang membedakan kali ini adalah jarak tempuhnya.
Biasa setiap harinya hanya sekitar 1 km saja, sekarang hampir 700x lipatnya
harus saya tempuh. Setiap hari saya juga melewati jalan aspal, hanya saja ada
jalan yang lurus sampai belasan kilometer, ada aspal yang berkelok curam,
tanjakan curam, turunan curam, jalan aspal panas yang telah disinari matahari
berjam-jam sehingga cukup untuk membuat keringat sebesar jagung bercucuran, dan
ada juga jalan aspal yang telah habis termakan usia sehingga berlubang dan
jalan aspal yang habis termakan abrasi pantai. Ada kendaraan yang berlalu
lalang, hanya saja bedanya banyak kendaraan besar seperti truk pengangkut batu
bara dan sawit. Ada orang-orang yang berjalan kaki juga, hanya saja mereka
membawa hasil pertanian mereka menuju rumah mereka masing-masing, dan ada juga
beberapa pejalan kaki yang berjalan tak tentu arah (orang gila). Ada juga
tumbuhan hijau, hanya saja bedanya yaitu hutan lindung sepanjang beberapa kilometer,
semak belukar di sisi kiri dan kanan jalan, ribuan pohon sawit dan ribuan pohon
karet di sepanjang jalan, hamparan sawah yang hijau dan menguning, pinggiran
pantai, dan lain sebagainya. Kesemuanya harus saya lewati demi sampainya tujuan
saya ke kampus Universitas Negeri Padang untuk kembali kuliah di semester
pendek sepanjang bulan ramadhan ini.
Bermodalkan sebuah
surat keterangan jalan dari klub sepeda dan sebuah surat keterangan jalan dari
kepolisian setempat, dan juga beberapa ratus ribu uang sumbangan dari anggota
klub untuk biaya makan selama perjalanan, tepat tanggal 23 Juni 2013 pukul
08.30 saya mulai perjalanan bike to campus yang di lepas oleh beberapa wartawan
koran lokal di depan kantor beritanya. Berharap lancar-lancar saja dalam
perjalanan, tapi itu hanya harapan yang Di Atas yang menentukan. Sebuah masalah
kecil dan sepele mulai tampak setelah berjalan 50 km meninggalkan kota
kelahiran. Ban depan bunyi yang ternyata kacang-kacang roda depan pecah karena
beban dan jalan jelek dari Curup menuju ke Bengkulu. Sepele memang, hanya
sebuah bola besi kecil, tapi bisa menghentikan perjalanan saya selamanya jika
tidak diperbaiki. Ditambah lagi kebiasaan badan yang perlu beradaptasi dengan
cuaca panas di jalanan, karena selama satu bulan badan telah merasa nyaman
dengan cuaca dingin kota Curup, sehingga membuat saya harus tepar dan tertidur
di pinggiran jalan karena lelah dan kepanasan. Jarak Curup Bengkulu sejauh 88
km yang biasa di tempuh selama 3,5 jam pada hari ini harus ditempuh selama 5
jam. Target semula ingin sampai di Lais tak terwujudkan. Lais masih 46 km lagi.
Hari kedua setelah
semua sepeda fix, saya baru bisa melanjutkan perjalanan jam 2 siang. Sore ini
harus kejar target sampai ke Lais. Waktu hanya satu minggu untuk sampai di
Padang dan pada 1 Juli saya harus segera kuliah. Mau tak mau saya harus kejar
target sampai ke Lais sore ini. Dan jam 17.30 tibalah saya di Lais. Bersyukur
tidak ada masalah selama perjalanan. Hanya saja tubuh masih butuh penyesuaian
terhadap panasnya jalanan. Malam ini numpang istirahat di Polsek Lais. Seorang
polisi piket menertawakan saya karena ke kampus naik sepeda. Banyak pertanyaan
keluar dari mulutnya dan dengan tenang saya jawab semuanya. Salah satunya
kenapa saya tidak bawa motor atau naik bus saja, saya hanya menjawab kendaraan
saya hanya sepeda, dan saya tidak naik bus karena banyak pelajaran yang akan
saya dapatkan selama perjalanan ini. “Alam takambang jadi guru” pepatah minang,
alamlah yang menjadi guru saya secara langsung selama perjalanan ini.
Memang benar alam lah
yang menjadi guru bagi saya, dan polisi yang menertawakan saya tadilah yang
menjadi gurunya. Beberapa sejarah tentang Lais ia ceritakan kepada saya,
diantaranya lokasi Polsek saat ini adalah bekas markas Belanda yang bukti
sejarahnya sebuah bangunan tempat penyimpanan air yang hanya puingnya saja di
belakang bangunan bekas markas Brimob yang juga tinggal bangunannya saja. Dan
juga ia menceritakan dua pohon besar yang usianya mungkin sudah ratusan tahun.
Semuanya ia ceritakan sebelum keberangkatan saya pada hari ketiga.
Pantai lais |
Hari ketiga sejauh 78
km saya tempuh melawan sengatan matahari. Target tak tercapai hari ini. Awalnya
ditargetkan sampai di Ipuh, sekitar 40 km lagi dari Puteri Hijau. Sedikit kesal
sebenarnya karena saya banyak menunggu, menunggu yang tak pasti. Sebelum
berangkat Bapak saya berpesan untuk menemui seorang keluarga yang sekarang
menjadi Kapolsek di Puteri Hijau. Tapi apalah daya, setelah semalaman menunggu
tak diberi kesempatan bertemu, akhirnya saya lanjutkan lagi perjalanan pada hari
keempat.
Hari keempat merupakan
pengalaman yang paling menakjubkan. Selama perjalanan banyak yang saya lihat,
mulai dari hamparan samudera hindia yang tanpa batas, sendiri di tengah
kesunyian diantara ribuan pohon karet, melihat bangkai biawak sebesar paha
tergeletak di bahu jalan, melihat secara langsung untuk pertama kalinya seekor
babi yang cukup besar melintas di depan mata di kesendirian di tengah ribuan
pohon sawit saat tengah di bakar panasnya sengatan matahari dan panasnya aspal
jalanan. Ketemu seorang bencong di sebuah warung kecil yang terkesan menggoda
saya sehingga membuat saya urung untuk beristirahat walaupun kaki ini sudah tak
karuan rasanya. Melihat air turun dari langit untuk pertama kalinya selama
perjalanan bike to campus ini. Melihat ribuan kunang-kunang dengan kerlipan
cahayanya bak bintang yang memberikan petunjuk kepada saya yang mana jalan yang
mana semak belukar dikegelapan malam 20 km sebelum sampai Muko-Muko. Hari ini
untuk pertama kalinya menembus 107 km gowes dalam perjalanan bike to campus
walaupun sempat kehilangan 50 km karena loading ketika hujan badai datang, dan
hari ini juga ditertawakan dua orang pemilik warung yang berbeda setelah
sebulan sebelumnya sempat singgah di warung mereka.
salah satu pemandangan pantai |
salah satu pemandangan pantai |
salah satu pemandangan pantai |
sendiri di tengah kesunyian diantara ribuan pohon karet |
tanjakan panjang |
Hari kelima saya
putuskan istirahat sembari menyempatkan diri bermain-main di kota muko-muko
melihat penutupan acara tahunan yang diselenggarakan oleh pemerintah Kabupaten
Muko-Muko dan juga melancong ke danau Nibung.
muaro (muko-muko) |
Hari keenam masuk ke
Balai Selasa yang sudah masuk ke Propinsi Sumatera Barat setelah 143 km
menggowes dan hari ini juga gowes paling malam karena tiba di Balai Selasa
hampir jam 21.00. tapi tak masalah karena saya dapat teman baru. Seorang
peturing dari Cina bernama Tidy Tian bertemu saya diperjalanan dan sempat
ngobrol bersamanya sekitar satu jam. Berbagi email, berbagi pengalaman turing,
dan dia juga berbagi cerita tentangg negara asalnya di Cina. Dia juga
mengatakan bahwa Indonesia itu indah dimatanya.
Tidy Tian dari Cina |
dan terus menanjak |
Hari terakhir ini
adalah hari dimana fisik saya terasa paling kuat. Hal yang jarang terjadi.
Dengan beban full di sepeda saya sanggup mengayuh sejauh 162 km dari Balai
Selasa menuju padang. Tahun 2011 lalu saya juga mengayuh sejauh ini tapi dengan
beban yang sedikit, tidak seperti hari ini. Inilah hari terkuat saya. Naik
beberapa buah bukit yang cukup untuk membuat mobil-mobil besar meraung ketika
mencoba melewatinya. Tapi saya dengan santai terus mengayuh tanpa menginjakkan
kaki ke tanah yang berarti tidak sanggup lagi untuk mengayuh. Mulai dari bukit
Punai, Bukit Pulai, Bukit kelok Jariang, bukit yang namanya tidak saya ingat,
dan yang terakhir bukit Lampu sekitar 15 km sebelum Padang. Tak disangka tiga
orang teman saya juga sedang main ke Bukit Lampu, jadi saya terkesan di sambut
maghrib itu.
Hati saya bahagia
karena tujuan saya tercapai. “Bike To Campus” atau saya mengatakan “The Real
Bike To Campus” telah terlaksana. Tinggal masuk kuliah lagi lusanya.
690 km jarak dari Curup
ke Padang. 636 km kaki terus mengayuh pedal, 54 km di atas pick up dengan
sedikit peyesalan. Tapi tak apalah, jika terus dipaksa mengayuh, banyak hari
yang terlewati dan tujuan utama Bike To Campus bisa jadi akan berubah.
Tujuh hari, enam hari
bersepeda di panas terik dan hujan badai. Hamparan pantai samudera hindia,
pantai abrasi, kunang-kunang, babi, polisi, cappucino dingin, sapaan masyarakat
yang beragam, mulai dari turis, pembalap, orang barat, sampai di sebut penjajah
“Belanda”, asap hitam kendaraan, Polsek, bahasa yang aneh, ekspresi orang awam
yang beragam, dan sebagainya, semua adalah guru.
“Alam Takambang Jadi
Guru”.
“Bike to Campus” atau
“The Real Bike to Campus”.
No comments:
Post a Comment