Perjalananku berlanjut ke Kota Tambang yang menawan, yaitu Kota Sawahlunto. Perjalanan kali ini bersama salah satu anggota dari komunitas Bikepacker Minangkabau (Sumbar) yang bernama Kukuh (http://www.facebook.com/kukuh.sigits?fref=ts).
Perjalanan kami mulai dari Padang tanggal 16 November 2012 sampai dengan 18 November 2012 dengan rute Padang - Padang Panjang - Ombilin - Batu Sangkar - Sijunjung - Sawahlunto - Solok - Padang.
Hari pertama kali tempuh dari Kota Padang menuju Batu Sangkar. Hari kedua Batu Sangkar ke Sijunjung dan masuk ke Kota Sawah Lunto. Sedangkan hari ketiga kami dari Kota Sawahlunto langsung menuju Kota Padang dan tentunya melewati Solok terlebih dahulu.
Sekilas Tentang Kota Sawahlunto
Kota Sawahlunto adalah salah satu kota
di provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Kota yang terletak 95 km sebelah timur laut kota Padang ini, dikelilingi oleh 3 kabupaten di Sumatera Barat, yaitu kabupaten Tanah Datar, kabupaten Solok dan kabupaten Sijunjung. Kota Sawahlunto memiliki luas 273,45 km² yang terdiri dari 4 Kecamatan dengan jumlah penduduk lebih dari 54.000 jiwa. Pada masa pemerintah Hindia-Belanda, kota Sawalunto dikenal sebagai kota tambang batu bara. Kota ini sempat mati, setelah penambangan batu bara dihentikan.
Saat ini kota Sawahlunto berkembang menjadi kota wisata tua yang multi etnik, sehingga menjadi salah satu kota tua terbaik di Indonesia. Di kota yang didirikan pada tahun 1888 ini, banyak berdiri bangunan-bangunan tua peninggalan Belanda. Sebagian telah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh pemerintah setempat dalam rangka mendorong pariwisata dan
mencanangkan Sawahlunto menjadi "Kota Wisata Tambang yang Berbudaya".
Nama Sawahlunto menurut legenda yang ada berasal dari kata "sawah" dan "lunto". Jauh sebelum kedatangan Belanda, di kawasan ini terdapat sawah-sawah yang ditumbuhi oleh pepohonan yang belum diketahui namanya. Jika ada yang menanyakan nama pohon tersebut, akan dijawab
alun tau yang lama-kelamaan berubah tutur menjadi "lunto", sebutan dalam bahasa Minang yang berarti "tidak tahu".
Sejarah dijadikannya Sawahlunto sebagai kota sendiri terkait dengan penelitian yang dilakukan oleh beberapa geolog asal Belanda ke pedaman Minangkabau (saat itu dikenal sebagai Dataran TInggi Padang), sebagaimana yang ditugaskan oleh Gubernur Jenderal Hindia-Belanda. Penelitian pertama dilakukan oleh Ir. C. De Groot van Embden pada tahun 1858, kemudian dilanjutkan oleh Ir. Willem Hendrik de Greve pada tahun 1867. Dalam penelitian De Greve, diketahui bahwa terdapat 200 juta ton batu bara yang terkandung di sekitar aliran Batang Ombilin, salah satu sungai yang ada di Sawahlunto. Sejak penelitian tersebut diumumkan ke Batavia pada tahun 1870, pemerintah Hindia-Belanda mulai merencanakan pembangunan sarana dan prasarana yang dapat
memudahkan eksploitasi batu bara di Sawahlunto. Selanjutnya Sawahlunto
juga dijadikan sebagai kota pada tahun 1888, tepatnya pada tanggal 1 Desember yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota Sawahlunto.
Kota ini mulai memproduksi batu bara sejak tahun 1892. Seiring dengan itu, kota ini mulai menjadi kawasan pemukiman pekerja
tambang, dan terus berkembang menjadi sebuah kota kecil dengan penduduk
yang intinya adalah pegawai dan pekerja tambang. Sampai tahun 1898,
usaha tambang di Sawahlunto masih mengandalkan narapaidana yang dipaksa
bekerja untuk menambang dan dibayar dengan harga murah. Pada tahun 1889,
pemerintah Hindia-Belanda mulai membangun jalur kereta api menuju Kota Padang untuk memudahkan pengangkutan batu bara keluar dari Kota Sawahlunto.
Jalur kereta api tersebut mencapai Kota Sawahlunto pada tahun 1894,
sehingga sejak angkutan kereta api muali dioperasikan produksi batu bara
di kota ini terus mengalami peningkatan hingga mencapai ratusan ribu
ton per tahun.
Bentang alam kota Sawahlunto memiliki ketinggian yang sangat
bervariasi, yaitu antara 250 meter sampai 650 meter di atas permukaan
laut. Bagian utara kota ini memiliki topografi yang relatif datar meski berada pada sebuah lembah
, terutama daerah yang dilalui oleh Batang Lunto, dimana di sekitar sungai inilah dibentuknya pemukiman dan fasilitas-fasilitas umum yang didirikan sejak masa pemerintahan Hindia-Belanda. Sementara itu bagian timur dan selatan kota ini relatif curam dengan kemiringan lebih dari 40%.
Kota Sawahlunto terletak di daerah dataran tinggi yang merupakan bagian dari Bukit Barisan
dan memiliki luas 273,45 km². Dari luas tersebut, lebih dari 26,5% atau
sekitar 72,47 km² merupakan kawasan perbukitan yang ditutupi hutan
lindung. Penggunaan tanah yang dominan di kota ini adalah perkebunan
sekitar 34%, dan danau yang terbentuk dari bekas galian tambang batu bara sekitar 0,2%.
Seperti daerah lainnya di Sumatera Barat, kota Sawahlunto mempunyai iklim tropis
dengan kisaran suhu minimun 22,5 °C dan maksimum 27,5 °C.
Sepanjang tahun terdapat dua musim, yaitu musim hujan dari bulan November sampai Juni dan musim kemarau dari bulan Juli sampai Oktober. Tingkat curah hujan kota Sawahlunto mencapai rata-rata 1.071,6 mm per tahun dengan curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Desember.
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Sawahlunto
Beberapa Tempat Menarik yang Sempat Aku Kunjungi
Ada beberapa tempat yang aku kunjungi di Kota tambang yang menawan ini, diantaranya adalah :
1. Museum Kereta Api Sawahlunto
Museum Kereta Api Sawahlunto dahulunya adalah sebuah stasiun kereta api di Sawalunto yang termasuk ke dalam Divisi Regional 2 Sumatera Barat, dan merupakan salah satu stasuin terminus yang ada di Sumatera Barat. Meseum ini terletak di kelurahan Pasar
, kecamatan Lembah Segar, kota Sawahlunto.
Sejarah
Pada tanggal 17 Desember 2005, Stasiun Sawahlunto diubah fungsinya menjadi museum, dan diresmikan oleh Wakil Presiden Republik Indonesia Muhammad Jusuf Kalla. Dengan demikian, Indonesia memiliki 2 museum kereta api, dengan yang pertama ada di Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.
Koleksi
Museum ini memiliki koleksi berjumlah 106 buah yang terdiri dari gerbong (5 buah), lokomotif uap (1 buah), jam (2 buah), alat-alat sinyal atau komunikasi (34 buah), foto dokumentasi (34 buah), miniatur lokomotif (9 buah), brankas
(3 buah), dongkrak rel (5 buah), label pabrik (3 buah), timbangan (3
buah), lonceng penjaga (1 buah), dan baterai lokomotif (2 buah).
sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Museum_Kereta_Api_Sawahlunto
2. Silo
Silo dulu dipakai sebagai tempat penampungan batu bara yang telah
diolah menuju pelabuhan Teluk Bayur Padang. Sekarang silo berfungsi
sebagai “alarm” kota. Artinya akan ada bunyi sirine setiap pukul tujuh
pagi, satu siang dan empat sore. Jam-jam tersebut menunjukkan waktu
masuk, mulai bekerja dan jam pulang pekerja tambang.
Sumber : http://catatanavantgarde.wordpress.com/tag/stasiun-sawahlunto/
3. Gudang Ransoem
Disini tidak hanya terdapat dapur tempat
memasak, juga terdapat beberapa bangunan yang memiliki fungsi yang
berbeda, namun merupakan satu kesatuan utuh yang saling mendukung satu
sama lain. Diantara bangunan-bangunan tersebut adalah: Bangunan utama
(Dapur Umum), gudang besar (warehouse) persediaan bahan mentah dan padi,
Steam generator (Tungku Pembakaran) buatan Jerman tahun 1894
yang dibuat oleh ROHRENDAMPFKESSELFABRIK D.R PATENTE. NO.13449 &
42321 berjumlah 2 buah, Menara cerobong asap, pabrik es
batangan, hospital, kantor koperasi tambang batubara Ombilin, Heuler
(penggilingan padi), rumah kepala ransum, rumah karyawan, pos penjaga,
rumah jagal hewan, hunian kepala rumah potong hewan.
Catatan sejarah
menunjukkan Dapur Umum memasak rata-rata 65 pikul beras setiap harinya.
Selain itu juga memasak dan menyediakan makanan ringan seperti
lepek-lepek bagi pekerja tambang, bubur bagi pasien Rumah Sakit Ombilin.
Dengan demikian dapat dipastikan Dapur Umum melayani kebutuhan makan
ribuan orang. Karena itu pula peralatan masak yang tersedia dalam ukuran
serba besar. Dapat kita bayangkan betapa besarnya periuk pemasak nasi
dan sayur dengan diameter 124 cm hingga mencapai 148 cm, badan beriuk
setinggi 60 cm hingga 70 cm dan tebal 1,2 cm.
Pada masa dahulunya Dapur Umum itu berfungsi sebagai tempat melayani kebutuhan makan para:
- 1. Orang hukuman, lebih dikenal sebagai orang rantai
- 2. Karyawan Tambang yang belum berkeluarga (bujangan) terutama
- mereka yang didatangkan jauh dari Belanda (Nederlands).
- 3. Buruh tambang yang sudah bekeluarga.
- 4. Pekerja dan pasien rumah Sakit Ombilin.
Sejak tahun 1945 Dapur Umum tidak
efektif lagi memasak untuk kebutuhan pegawai tambang, tapi lebih
diutamakan untuk kebutuhan tentara. Pada tahun 1945 di gunakan untuk
memasak makanan untuk TKRI. Pada tahun 1948 Dapur Umum ini di pergunakan
untuk memasak makan untuk kebutuhan tentara Belanda (Kenil) dan tahun
1950 setelah kemerdekaan RI sampai sekarang Dapur Umum tidak lagi di
gunakan sebagai tempat memasak. Berbagai perubahan fungsi telah dilalui
seperti; periode tahun 1950 1960-an bekas Dapur Umum difungsikan
sebagai tempat penyelenggaraan administrasi bagi perusahaan Tambang
Batubara Ombilin. Masyarakat menyebutnya sebagai tempat pengetikan.
Periode dahun 1960 - 1970-an bekas Dapur Umum dimanfaatkan sebagai
tempat pendidikan formal setingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP)
Ombilin.
Periode Tahun 1970 1980-an bekas Dapur Umum difungsikan
sebagai hunian para karyawan tambang Ombilin hingga tahun 1980-an.
Periode tahun 1980-an sampai tahun 2004 masih sebagai hunian karyawan
perusahaan, tapi sebagian bangunan juga ditempati masyarakat yang
mendapat izin tinggal oleh perusahaan. Keadaan seperti ini berlangsung
hingga awal tahun 2005.
Ruang pameran utama merupakan bekas ruang
masak Dapur Umum. Disini dipamerkan benda-benda koleksi peralatan masak
Dapur Umum. Peralatan masak yang serba besar dapat disaksikan disini
dengan sistim masak uap panas dari steam generator yang unik.
Wisatawan
juga dapat menyelami Sawahlunto tempo dulu melalui GALERI FOTO yang
menyajikan berbagai tema. Disini melalui foto-foto wisatawan dapat
memahami perjalanan panjang Sawahlunto dari masa ke masa.
Keragaman
budaya tumbuh dengan suburnya di Kota Arang Sawahlunto. Hal itu terlihat
dari berbagai atraksi seni dan budaya maupun perhelatan daerah. Tidak
hanya budaya dan pakaian adat Minangkabau saja yang ada di Kota
Sawahlunto, kebudayaan daerah lain seperti Jawa, Batak, dan Cina pun
turut mewarnai keragaman budaya di Sawahlunto
Dengan adanya keragaman
budaya inilah Sawahlunto dikenal dengan kota multi-etnis. Setiap nagari
di Sawahlunto dalam bingkai budaya Minangkabau memberikan corak dan
warna tersendiri dengan Adat Salingka Nagari-nya. Nagari Silungkang,
Talawi, Kubang, Tak Boncah, Lumindai, Kolok, Lunto, Kajai, Talago
Gunuang dan Sijantang misalnya, memberikan warna yang berbeda antara
satu dengan yang lain. Apalagi kehadiran etnis lainnya seperti Jawa,
Batak maupun Cina yang turut menambah khasanah keragaman seni budaya
di kota Sawahlunto.
Keragaman etnis dan budaya di Kota Sawahlunto itu
diwakili dengan kehadiran Galeri Etnografi Kota Sawahlunto. Lebih dari
itu galeri etnografi menghadirkan berbagai benda peralatan hidup yang
pernah digunakan masyarakat Kota Tambang Sawahlunto. Semua itu dapat
disaksikan dalam kawasan Museum Goedang Ransoem kota Sawahlunto
Sumber : http://www.sawahluntokota.go.id/pariwisata/wisata-kota-tua/museum-gudang-ransum.html
3. Kantor PTBA
Dibangun pada tahun 1916 dengan nama "Ombilin Meinen" yang berfungsi
sebagai kantor pertambangan. Dan hingga sekaraang, masih digunakan
sebagai kantor pertambangan PT BA UPO.
Sumber : http://www.sawahluntokota.go.id/pariwisata/wisata-kota-tua/museum-gudang-ransum.html
4. Masjid Raya Kota Sawah Lunto
Pada tahun 1894 dibangun pusat enegi listrik PLTU (power plan) di Kubang
Sirakuak untuk menggerrakan berbagai mesin mempercepat proses
penambangan dan pengangkutan batubara. Setelah dibangun penggantinya
tahun 1924 di Salak, sejak itu bekas PLTU di Kubang Sirakuak mengalami
berbagai peralihan fungsi. Tempat ini pernah menjadi gudang dan
perakitan senjata dimasa revolusi dimana terdapat bungker yang
dipergunakan oleh para pejuang kemerdekaan sebagai tempat penyimpanan
senjata seperti granat senjata api lainnya. Dan tahun 1952 pada bekas
bangunan PLTU yang megah itu, dibangun tempat peribadatan muslim,
(sekarang Mesjid Raya Kota Sawahlunto). Sedangkan bekas menara cerobong
asap PLTU yang berketinggian lebih dari 75 meter dijadikan menara
mesjid.
|
Menara Masjid Raya Kota Sawahlunto |
Beberapa penampakan di Kota Tua Sawahlunto
|
salah satu sudut kota sawah lunto di dekat tugu pahlawan |
|
pasar Kota Sawahlunto |
|
Petunjuk arah tempat wisata |
|
Tanda peresmian tugu Pejuang |
|
Pemandangan kota Sawhlunto dari depan Museum Kereta Api saat maghrib |
|
Pemandangan Kota Sawahlunto dari salah satu bukit |
|
Simpang masuk ke Kota Sawahlunto dari Jalur Lintas Sumatera |
|
Peta Kota Sawahlunto
Perjalanan Menuju dan Kembali Dari Sawahlunto
Ini adalah beberapa gambar yang sempat diambil dalam perjalanan pergi ke kota Sawahlunto. Dimulai dari Padang, Lembah anai, Padang Panjang, Batusangkar, Sijunjung, dan Barulah berakhir di kota Sawahlunto.
|
(Kukuh) Partner saya selama short trip bikepacker ke Sawahlunto |
|
Sarapan Pagi sebelum Berangkat |
|
Usai shalat jumat di masji di Lembah Anai |
|
Air Terjun Lembah Anai |
|
Traffic di sekitar air Terjun Lembah Anai |
|
Mejeng di depan Air Terjun Lembah Anai |
|
Rambu penunjuk arah di Batu Sangkar |
|
Pemandangan Alam di Sungai Tarab Batu Sangkar |
|
Istana Pagaruyung Batu Sangkar |
|
Gerbang Masuk Istana Pagaruyung Batu Sangkar |
|
Kantor Bupati Tanah Datar (Batu Sangkar) |
|
Tugu Fotokopi |
|
Tugu Fotokopi |
|
Simpang tiga Sijunjung Payakumbuh dari Batu Sangkar |
|
Batas Kabupaten Sijunjung |
|
Raja Jalanan di kota Sijunjung |
Ketika hendak menuju kota Padang dari Sawahlunto dan Sijunjung, ada dua jalur yang bisa dilalui. Jalur yang terdekat yaitu dari Solok langsung ke Kota Padang, dan jalur yang ke dua bisa melalui danau singkarak dan ke Padang Panjang. Beberapa pemandangan yang cukup indah bagi saya yang ingin saya bagikan kepada semua ketika melewati jalur Solok - Padang sepanjang kurang lebih 54 km.
|
Rumah makan Paling enak di Solok. Lagi di traktir sama om Ronny |
|
Panoramik di salah satu tempat istirahat di pinggir jalan |
|
Solok dari kejauhan |
|
Tugu Ayam Jantan di Arosoka |
|
Kota Padang dari kejauhan |
1 comment:
cigei si mjako ne au...
Post a Comment