Thursday, 23 May 2013

LDC // Kota Tambang Yang Menawan

Perjalananku berlanjut ke Kota Tambang yang menawan, yaitu Kota Sawahlunto. Perjalanan kali ini bersama salah satu anggota dari komunitas Bikepacker Minangkabau (Sumbar) yang bernama Kukuh (http://www.facebook.com/kukuh.sigits?fref=ts).
Perjalanan kami mulai dari Padang tanggal 16 November 2012 sampai dengan 18 November 2012 dengan rute Padang - Padang Panjang - Ombilin - Batu Sangkar - Sijunjung - Sawahlunto - Solok - Padang.
Hari pertama kali tempuh dari Kota Padang menuju Batu Sangkar. Hari kedua Batu Sangkar ke Sijunjung dan masuk ke Kota Sawah Lunto. Sedangkan hari ketiga kami dari Kota Sawahlunto langsung menuju Kota Padang dan tentunya melewati Solok terlebih dahulu.


Sekilas Tentang Kota Sawahlunto
 
Kota Sawahlunto adalah salah satu kota di provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Kota yang terletak 95 km sebelah timur laut kota Padang ini, dikelilingi oleh 3 kabupaten di Sumatera Barat, yaitu kabupaten Tanah Datar, kabupaten Solok dan kabupaten Sijunjung. Kota Sawahlunto memiliki luas 273,45 km² yang terdiri dari 4 Kecamatan dengan jumlah penduduk lebih dari 54.000 jiwa. Pada masa pemerintah Hindia-Belanda, kota Sawalunto dikenal sebagai kota tambang batu bara. Kota ini sempat mati, setelah penambangan batu bara dihentikan.
Saat ini kota Sawahlunto berkembang menjadi kota wisata tua yang multi etnik, sehingga menjadi salah satu kota tua terbaik di Indonesia. Di kota yang didirikan pada tahun 1888 ini, banyak berdiri bangunan-bangunan tua peninggalan Belanda. Sebagian telah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh pemerintah setempat dalam rangka mendorong pariwisata dan mencanangkan Sawahlunto menjadi "Kota Wisata Tambang yang Berbudaya".

Nama Sawahlunto menurut legenda yang ada berasal dari kata "sawah" dan "lunto". Jauh sebelum kedatangan Belanda, di kawasan ini terdapat sawah-sawah yang ditumbuhi oleh pepohonan yang belum diketahui namanya. Jika ada yang menanyakan nama pohon tersebut, akan dijawab alun tau yang lama-kelamaan berubah tutur menjadi "lunto", sebutan dalam bahasa Minang yang berarti "tidak tahu".
Sejarah dijadikannya Sawahlunto sebagai kota sendiri terkait dengan penelitian yang dilakukan oleh beberapa geolog asal Belanda ke pedaman Minangkabau (saat itu dikenal sebagai Dataran TInggi Padang), sebagaimana yang ditugaskan oleh Gubernur Jenderal Hindia-Belanda. Penelitian pertama dilakukan oleh Ir. C. De Groot van Embden pada tahun 1858, kemudian dilanjutkan oleh Ir. Willem Hendrik de Greve pada tahun 1867. Dalam penelitian De Greve, diketahui bahwa terdapat 200 juta ton batu bara yang terkandung di sekitar aliran Batang Ombilin, salah satu sungai yang ada di Sawahlunto. Sejak penelitian tersebut diumumkan ke Batavia pada tahun 1870, pemerintah Hindia-Belanda mulai merencanakan pembangunan sarana dan prasarana yang dapat memudahkan eksploitasi batu bara di Sawahlunto. Selanjutnya Sawahlunto juga dijadikan sebagai kota pada tahun 1888, tepatnya pada tanggal 1 Desember yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota Sawahlunto.
Kota ini mulai memproduksi batu bara sejak tahun 1892. Seiring dengan itu, kota ini mulai menjadi kawasan pemukiman pekerja tambang, dan terus berkembang menjadi sebuah kota kecil dengan penduduk yang intinya adalah pegawai dan pekerja tambang. Sampai tahun 1898, usaha tambang di Sawahlunto masih mengandalkan narapaidana yang dipaksa bekerja untuk menambang dan dibayar dengan harga murah. Pada tahun 1889, pemerintah Hindia-Belanda mulai membangun jalur kereta api menuju Kota Padang untuk memudahkan pengangkutan batu bara keluar dari Kota Sawahlunto. Jalur kereta api tersebut mencapai Kota Sawahlunto pada tahun 1894, sehingga sejak angkutan kereta api muali dioperasikan produksi batu bara di kota ini terus mengalami peningkatan hingga mencapai ratusan ribu ton per tahun.

Bentang alam kota Sawahlunto memiliki ketinggian yang sangat bervariasi, yaitu antara 250 meter sampai 650 meter di atas permukaan laut. Bagian utara kota ini memiliki topografi yang relatif datar meski berada pada sebuah lembah, terutama daerah yang dilalui oleh Batang Lunto, dimana di sekitar sungai inilah dibentuknya pemukiman dan fasilitas-fasilitas umum yang didirikan sejak masa pemerintahan Hindia-Belanda. Sementara itu bagian timur dan selatan kota ini relatif curam dengan kemiringan lebih dari 40%.
Kota Sawahlunto terletak di daerah dataran tinggi yang merupakan bagian dari Bukit Barisan dan memiliki luas 273,45 km². Dari luas tersebut, lebih dari 26,5% atau sekitar 72,47 km² merupakan kawasan perbukitan yang ditutupi hutan lindung. Penggunaan tanah yang dominan di kota ini adalah perkebunan sekitar 34%, dan danau yang terbentuk dari bekas galian tambang batu bara sekitar 0,2%.
Seperti daerah lainnya di Sumatera Barat, kota Sawahlunto mempunyai iklim tropis dengan kisaran suhu minimun 22,5 °C dan maksimum 27,5 °C. Sepanjang tahun terdapat dua musim, yaitu musim hujan dari bulan November sampai Juni dan musim kemarau dari bulan Juli sampai Oktober. Tingkat curah hujan kota Sawahlunto mencapai rata-rata 1.071,6 mm per tahun dengan curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Desember.

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Sawahlunto

Beberapa Tempat Menarik yang Sempat Aku Kunjungi
Ada beberapa tempat yang aku kunjungi di Kota tambang yang menawan ini, diantaranya adalah :

1. Museum Kereta Api Sawahlunto
Museum Kereta Api Sawahlunto dahulunya adalah sebuah stasiun kereta api di Sawalunto yang termasuk ke dalam Divisi Regional 2 Sumatera Barat, dan merupakan salah satu stasuin terminus yang ada di Sumatera Barat. Meseum ini terletak di kelurahan Pasar, kecamatan Lembah Segar, kota Sawahlunto.

Sejarah 

Pada tanggal 17 Desember 2005, Stasiun Sawahlunto diubah fungsinya menjadi museum, dan diresmikan oleh Wakil Presiden Republik Indonesia Muhammad Jusuf Kalla. Dengan demikian, Indonesia memiliki 2 museum kereta api, dengan yang pertama ada di Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.

Koleksi

Museum ini memiliki koleksi berjumlah 106 buah yang terdiri dari gerbong (5 buah), lokomotif uap (1 buah), jam (2 buah), alat-alat sinyal atau komunikasi (34 buah), foto dokumentasi (34 buah), miniatur lokomotif (9 buah), brankas (3 buah), dongkrak rel (5 buah), label pabrik (3 buah), timbangan (3 buah), lonceng penjaga (1 buah), dan baterai lokomotif (2 buah).
sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Museum_Kereta_Api_Sawahlunto




2. Silo
Silo dulu dipakai sebagai tempat penampungan batu bara yang telah diolah menuju pelabuhan Teluk Bayur Padang. Sekarang silo berfungsi sebagai “alarm” kota. Artinya akan ada bunyi sirine setiap pukul tujuh pagi, satu siang dan empat sore. Jam-jam tersebut menunjukkan waktu masuk, mulai bekerja dan jam pulang pekerja tambang. 
Sumber : http://catatanavantgarde.wordpress.com/tag/stasiun-sawahlunto/ 



3. Gudang Ransoem
Disini tidak hanya terdapat dapur tempat memasak, juga terdapat beberapa bangunan yang memiliki fungsi yang berbeda, namun merupakan satu kesatuan utuh yang saling mendukung satu sama lain. Diantara  bangunan-bangunan tersebut adalah: Bangunan utama (Dapur Umum), gudang besar (warehouse) persediaan bahan mentah dan padi, Steam generator (Tungku Pembakaran) buatan Jerman tahun 1894 yang dibuat oleh ROHRENDAMPFKESSELFABRIK D.R PATENTE. NO.13449 & 42321 berjumlah 2 buah, Menara cerobong asap,  pabrik es batangan, hospital, kantor koperasi tambang batubara Ombilin, Heuler (penggilingan padi), rumah kepala ransum, rumah karyawan, pos penjaga, rumah jagal hewan, hunian kepala rumah potong hewan.
Catatan sejarah menunjukkan Dapur Umum memasak rata-rata 65 pikul beras setiap harinya. Selain itu juga memasak dan menyediakan makanan ringan seperti lepek-lepek bagi pekerja tambang, bubur bagi pasien Rumah Sakit Ombilin. Dengan demikian dapat dipastikan Dapur Umum melayani kebutuhan makan ribuan orang. Karena itu pula peralatan masak yang tersedia dalam ukuran serba besar. Dapat kita bayangkan betapa besarnya periuk pemasak nasi dan sayur dengan diameter 124 cm hingga mencapai 148 cm, badan beriuk setinggi 60 cm hingga 70 cm dan tebal 1,2 cm.
Pada masa dahulunya Dapur Umum itu berfungsi sebagai tempat melayani kebutuhan makan para:
  1. 1.    Orang hukuman, lebih dikenal sebagai orang rantai
  2. 2.    Karyawan Tambang yang belum berkeluarga (bujangan) terutama
  3.         mereka yang didatangkan jauh dari Belanda (Nederlands).
  4. 3.    Buruh tambang yang sudah bekeluarga.
  5. 4.    Pekerja dan pasien rumah Sakit Ombilin.
Sejak tahun 1945 Dapur Umum tidak efektif lagi memasak untuk kebutuhan pegawai tambang, tapi lebih diutamakan untuk kebutuhan tentara. Pada tahun 1945 di gunakan untuk memasak makanan untuk TKRI. Pada tahun 1948 Dapur Umum ini di pergunakan untuk memasak makan untuk kebutuhan tentara Belanda (Kenil) dan tahun 1950 setelah kemerdekaan RI sampai sekarang Dapur Umum tidak lagi di gunakan sebagai tempat memasak. Berbagai perubahan fungsi telah dilalui seperti; periode tahun 1950  1960-an bekas Dapur Umum  difungsikan sebagai tempat penyelenggaraan administrasi bagi perusahaan Tambang Batubara Ombilin. Masyarakat menyebutnya sebagai tempat pengetikan. Periode dahun 1960 - 1970-an bekas Dapur Umum dimanfaatkan sebagai tempat pendidikan formal setingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) Ombilin.
Periode Tahun 1970  1980-an bekas Dapur Umum difungsikan  sebagai hunian para karyawan tambang Ombilin hingga tahun 1980-an. Periode tahun 1980-an sampai tahun 2004 masih sebagai hunian karyawan perusahaan, tapi sebagian bangunan juga ditempati masyarakat yang mendapat izin tinggal oleh perusahaan. Keadaan seperti ini berlangsung hingga awal tahun 2005.
Ruang pameran utama merupakan bekas ruang masak Dapur Umum. Disini dipamerkan benda-benda koleksi peralatan masak Dapur Umum. Peralatan masak yang serba besar dapat disaksikan disini dengan sistim masak uap panas dari steam generator yang unik.
Wisatawan juga dapat menyelami Sawahlunto tempo dulu melalui GALERI FOTO yang menyajikan berbagai tema. Disini melalui foto-foto wisatawan dapat memahami perjalanan panjang Sawahlunto dari masa ke masa.
Keragaman budaya tumbuh dengan suburnya di Kota Arang Sawahlunto. Hal itu terlihat dari berbagai atraksi seni dan budaya maupun perhelatan daerah. Tidak hanya budaya dan pakaian adat Minangkabau saja yang ada di Kota Sawahlunto, kebudayaan daerah lain seperti Jawa, Batak, dan Cina pun turut mewarnai keragaman budaya di Sawahlunto
Dengan adanya keragaman budaya inilah Sawahlunto dikenal dengan kota multi-etnis. Setiap nagari di Sawahlunto dalam bingkai budaya Minangkabau memberikan corak dan warna tersendiri dengan Adat Salingka Nagari-nya. Nagari Silungkang, Talawi, Kubang, Tak Boncah, Lumindai, Kolok, Lunto, Kajai, Talago Gunuang dan Sijantang misalnya, memberikan warna yang berbeda antara satu dengan yang lain. Apalagi kehadiran etnis lainnya seperti Jawa, Batak  maupun Cina yang  turut menambah khasanah keragaman seni budaya di kota Sawahlunto.
Keragaman etnis dan budaya di Kota Sawahlunto itu diwakili dengan kehadiran Galeri Etnografi Kota Sawahlunto. Lebih dari itu galeri etnografi menghadirkan berbagai benda peralatan hidup yang pernah digunakan masyarakat Kota Tambang Sawahlunto. Semua itu dapat disaksikan dalam kawasan Museum Goedang Ransoem kota Sawahlunto
Sumber : http://www.sawahluntokota.go.id/pariwisata/wisata-kota-tua/museum-gudang-ransum.html



3. Kantor PTBA
Dibangun pada tahun 1916 dengan nama "Ombilin Meinen" yang berfungsi sebagai kantor pertambangan. Dan hingga sekaraang, masih digunakan sebagai kantor pertambangan PT BA UPO.
Sumber : http://www.sawahluntokota.go.id/pariwisata/wisata-kota-tua/museum-gudang-ransum.html






4. Masjid Raya Kota Sawah Lunto
Pada tahun 1894 dibangun pusat enegi listrik PLTU (power plan) di Kubang Sirakuak untuk menggerrakan berbagai mesin mempercepat proses penambangan dan pengangkutan batubara. Setelah dibangun penggantinya tahun 1924 di Salak, sejak itu bekas PLTU di Kubang Sirakuak mengalami berbagai peralihan fungsi. Tempat ini pernah menjadi gudang dan perakitan senjata dimasa revolusi dimana terdapat bungker yang dipergunakan oleh para pejuang kemerdekaan sebagai tempat penyimpanan senjata seperti granat senjata api lainnya. Dan tahun 1952 pada bekas bangunan PLTU yang megah itu, dibangun tempat peribadatan muslim, (sekarang Mesjid Raya Kota Sawahlunto). Sedangkan bekas menara cerobong asap PLTU yang berketinggian lebih dari 75 meter dijadikan menara mesjid.



Menara Masjid Raya Kota Sawahlunto

 

 Beberapa penampakan di Kota Tua Sawahlunto

salah satu sudut kota sawah lunto di dekat tugu pahlawan

pasar Kota Sawahlunto

Petunjuk arah tempat wisata

Tanda peresmian tugu Pejuang

Pemandangan kota Sawhlunto dari depan Museum Kereta Api saat maghrib

Pemandangan Kota Sawahlunto dari salah satu bukit

Simpang masuk ke Kota Sawahlunto dari Jalur Lintas Sumatera
Peta Kota Sawahlunto




Perjalanan Menuju dan Kembali Dari Sawahlunto
Ini adalah beberapa gambar yang sempat diambil dalam perjalanan pergi ke kota Sawahlunto. Dimulai dari Padang, Lembah anai, Padang Panjang, Batusangkar, Sijunjung, dan Barulah berakhir di kota Sawahlunto.
(Kukuh) Partner saya selama short trip bikepacker ke Sawahlunto

Sarapan Pagi sebelum Berangkat

Usai shalat jumat di masji di Lembah Anai

Air Terjun Lembah Anai

Traffic di sekitar air Terjun Lembah Anai

Mejeng di depan Air Terjun Lembah Anai

Rambu penunjuk arah di Batu Sangkar

Pemandangan Alam di Sungai Tarab Batu Sangkar

Istana Pagaruyung Batu Sangkar

Gerbang Masuk Istana Pagaruyung Batu Sangkar

Kantor Bupati Tanah Datar (Batu Sangkar)

Tugu Fotokopi

Tugu Fotokopi

Simpang tiga Sijunjung Payakumbuh dari Batu Sangkar

Batas Kabupaten Sijunjung

Raja Jalanan di kota Sijunjung
Ketika hendak menuju kota Padang dari Sawahlunto dan Sijunjung, ada dua jalur yang bisa dilalui. Jalur yang terdekat yaitu dari Solok langsung ke Kota Padang, dan jalur yang ke dua bisa melalui danau singkarak dan ke Padang Panjang. Beberapa pemandangan yang cukup indah bagi saya yang ingin saya bagikan kepada semua ketika melewati jalur Solok - Padang sepanjang kurang lebih 54 km.
Rumah makan Paling enak di Solok. Lagi di traktir sama om Ronny

Panoramik di salah satu tempat istirahat di pinggir jalan

Solok dari kejauhan


Tugu Ayam Jantan di Arosoka

Kota Padang dari kejauhan


1 comment:

prima adp said...

cigei si mjako ne au...